Kantor Urusan Agama (KUA) kecamatan
merupakan unit kerja Kementerian Agama yang secara institusional berada paling
depan dan menjadi ujung tombak dalam pelaksanaan tugas-tugas pelayanan kepada
masyarakat di bidang keagamaan.
Secara histories, KUA adalah unit kerja Kementerian Agama yang memiliki
rentang usia cukup panjang. Menurut seorang ahli di bidang ke-Islaman Karel
Steenbrink, bahwa KUA Kecamatan secara kelembagaan telah ada sebelum Depertemen
Agama itu sendiri ada. Pada masa kolonial, unit kerja dengan tugas dan fungsi
yang sejenis dengan KUA kecamatan, telah diatur dan diurus di bawah
lembaga Kantor Voor Inslanche Zaken (Kantor Urusan Pribumi) yang didirikan oleh
pemerintah Hindia Belanda. Pendirian unit kerja ini tak lain adalah untuk
mengkoordinir tuntutan pelayanan masalah-masalah keperdataan yang menyangkut
umat Islam yang merupakan produk pribumi. Kelembagaan ini kemudian dilanjutkan
oleh pemerintah Jepang melalui lembaga sejenis dengan sebutan Shumbu.
Pada
masa kemerdekaan, KUA Kecamatan dikukuhkan melalui undang-undang No. 22 tahun
1946 tentang Pencatatan Nikah, Talak, Cerai dan Rujuk (NTCR). Undang-undang ini
diakui sebagai pijakan legal bagi berdirinya KUA kecamatan. Pada mulanya,
kewenangan KUA sangat luas, meliputi bukan hanya masalah NR saja, melainkan
juga masalah talak dan cerai. Dengan berlakunya UU No. 1 tahun 1974 tentang
perkawinan yang diberlakukan dengan PP. No. 9 tahun 1975, maka kewenangan KUA
kecamatan dikurangi oleh masalah talak cerai yang diserahkan ke
Pengadilan Agama.
Dalam
perkembangan selanjutnya, maka Kepres No. 45 tahun 1974 yang disempurnakan
dengan Kepres No. 30 tahun 1978, mengatur bahwa Kantor Urusan Agama (KUA)
Kecamatan mempunyai tugas dan fungsi melaksanakan sebagaian tugas Departemen
Agama Kabupaten di bidang urusan agama Islam di wilayah Kecamatan .
Sejak
awal kemerdekaan Indonesia, kedudukan KUA Kecamatan memegang peranan yang
sangat vital sebagai pelaksana hukum Islam, khususnya berkenaan dengan
perkawinan. Peranan tersebut dapat dilihat dari acuan yang menjadi pijakannya,
yaitu;
1. UU No. 22 tahun 1946 tentang pencatatan
nikah, talak dan rujuk,
2. UU No.22 tahun 1946 yang kemudian
dikukuhkan dengan UU No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan,
3. Keppres No. 45 tahun 1974 tentang
tugas dan fungsi KUA kecamatan yang dijabarkan dengan KMA No. 45
tahun 1981,
4. Keputusan Menteri Agama No. 517
tahun 2001 tentang pencatatan struktur organisasi KUA kecamatan yang menangani
tugas dan fungsi pencatatan perkawinan, wakaf dan kemesjidan, produk halal,
keluarga sakinah, kependudukan, pembinaan haji , ibadah social dan kemitraan
umat,
5. Keputusan Menteri Agama RI No. 298
tahun 2003 yang mengukuhkan kembali kedudukan KUA kecamatan sebagai unit kerja
Kantor Departemen Agama kabupaten / kota yang melaksanakan sebagian tugas
Urusan Agama Islam.
Karena tugasnya berkenaan dengan aspek hukum dan ritual yang sangat
menyentuh kehidupan keseharian masyarakat, maka tugas dan fungsi KUA kecamatan
semakin hari semakin menunjukkan peningkatan kuantitas dan kualitasnya.
Peningkatan ini tentunya mendorong kepala KUA sebagai pejabat yang bertanggung
jawab dalam melaksanakan dan mengkoordinasikan tugas-tugas Kantor Urusan
Agama Kecamatan untuk bersikap dinamis, proaktif, kreatif, mandiri,
aspiratif dan berorientasi pada penegakkan peraturan yang berlaku.
0 comments:
Post a Comment